Ramadan di Gaza dan Palestina Diprediksi Tetap Tegang
News terbaru – Pada akhir pekan terakhir Ramadan 2024, umat Muslim Palestina merayakan dengan suasana yang penuh ketegangan dan duka. Perang yang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Hamas di Gaza mengubah perayaan Ramadan, yang biasanya dipenuhi kegembiraan, menjadi momen penuh ketegangan.
Sekitar 120.000 orang berkumpul di kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem untuk merayakan malam Laylat al-Qadr, yang diyakini sebagai malam paling suci dalam Ramadan. Namun, momen doa dan harapan ini diwarnai oleh bentrokan kecil antara jamaah dan polisi Israel yang mengawasi pintu masuk masjid, yang merupakan situs tersuci ketiga dalam Islam.
Upaya perdamaian yang diupayakan oleh Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir menemui jalan buntu. Mereka berusaha menengahi gencatan senjata menjelang perayaan hari raya, yang mencakup pembebasan sandera Israel dan tahanan Palestina serta pengiriman bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan. Namun, pembicaraan tersebut tidak membuahkan hasil. Hamas menuntut gencatan senjata sebagai langkah pertama untuk mengakhiri perang, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan akan melanjutkan ofensif hingga tercapainya “kemenangan total” atas Hamas dan pembebasan semua sandera.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, mengimbau kedua pihak untuk menghormati semangat Ramadan dengan menghentikan tembakan dan membebaskan semua sandera. Ia mengingatkan, “Mata dunia sedang mengawasi. Mata sejarah juga mengawasi.” Guterres mendesak tindakan segera untuk mencegah lebih banyak kematian yang bisa dicegah.
“Baca Juga : KPK Akan Lelang Barang Rampasan Koruptor Maret Ini, Cek Daftarnya”
Ramadan di Palestina pada 2025 diperkirakan akan kembali diliputi ketegangan dan kesedihan akibat situasi yang masih tidak pasti. Konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Hamas serta ketegangan politik yang terus berlangsung diperkirakan akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari di Gaza dan Tepi Barat. Pembatasan pergerakan dan pengamanan yang ketat akan mempengaruhi aktivitas ibadah dan kehidupan sosial.
Masjid Al-Aqsa, tempat suci dalam tradisi Islam, kemungkinan besar akan tetap menjadi titik ketegangan antara umat Muslim dan otoritas Israel. Akses menuju Al-Aqsa bisa dibatasi, yang berpotensi mengurangi jumlah jamaah yang dapat melaksanakan shalat tarawih dan ibadah lainnya selama Ramadan.
Gaza juga diperkirakan akan menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin dalam. Keterbatasan akses bantuan kemanusiaan dan dampak dari serangan udara yang terus berlanjut akan membuat kehidupan warga semakin sulit. Keterbatasan pasokan pangan, obat-obatan, dan kebutuhan dasar lainnya akan memberikan tantangan besar bagi banyak keluarga selama Ramadan.
Beberapa tradisi Ramadan yang biasanya ramai, seperti buka puasa bersama di masjid atau pasar Ramadan, kemungkinan akan terhenti atau dibatasi. Banyak keluarga mungkin memilih untuk menghabiskan waktu lebih banyak di rumah, berdoa, dan berfokus pada ibadah. Guna mencari ketenangan dan kedamaian di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.
Meskipun banyak yang meragukan perubahan besar dalam situasi politik dan keamanan. Ramadan tetap menjadi waktu bagi umat Muslim untuk berdoa dan berharap akan adanya kedamaian. Laylat al-Qadr, malam yang penuh berkah, kemungkinan besar akan menjadi saat berdoa agar konflik segera berakhir dan mereka dapat merasakan kedamaian di tanah suci mereka.
“Baca Juga : Francesco Bagnaia Pilih Tandem dengan Enea Bastianini, Bukan Marc Marquez”