Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Terancam Hukuman Mati, Ini Sebabnya
News terbaru – Jaksa penuntut Korea Selatan secara resmi mendakwa Presiden yang dimakzulkan, Yoon Suk Yeol, pada Minggu (26/1/2025). Ia dituduh memimpin pemberontakan melalui penerapan darurat militer yang berlangsung singkat pada 3 Desember 2024. Tuduhan ini menjadi peristiwa bersejarah, karena belum pernah ada presiden Korea Selatan yang didakwa dengan kejahatan serupa.
Pengacara Yoon mengecam langkah kejaksaan, menyebutnya sebagai “pilihan terburuk” yang dapat diambil. Sebaliknya, partai oposisi utama menyambut baik dakwaan tersebut, menganggapnya sebagai langkah penting dalam mempertahankan demokrasi di Korea Selatan.
Jika terbukti bersalah, Yoon menghadapi ancaman hukuman penjara bertahun-tahun. Penerapan darurat militer oleh Yoon dinilai kontroversial karena berupaya melarang aktivitas politik dan parlementer serta mengendalikan media. Tindakan ini memicu gelombang protes besar di seluruh negeri, yang mengguncang stabilitas politik Korea Selatan.
Perdana Menteri yang menjabat pada saat itu juga dimakzulkan, sementara beberapa pejabat tinggi militer menghadapi dakwaan terkait peran mereka dalam pemberontakan tersebut.
“Darurat militer yang dideklarasikan Presiden Yoon merupakan respons terhadap krisis nasional yang disebabkan oleh oposisi yang tak terkendali,” ungkap pengacara Yoon dalam pernyataannya.
Penyelidik antikorupsi sebelumnya telah merekomendasikan dakwaan terhadap Yoon setelah ia dimakzulkan oleh parlemen dan diskors dari jabatannya pada 14 Desember 2024. Kejaksaan hingga kini belum memberikan komentar resmi mengenai kasus tersebut.
“Baca Juga : Rossi Targetkan VR46 Racing Tembus 5 Besar MotoGP 2025”
Dengan dakwaan ini, masa depan politik Yoon Suk Yeol dan dampaknya terhadap stabilitas Korea Selatan akan menjadi perhatian utama di tengah gejolak politik dan sosial yang sedang berlangsung.
Mantan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, menghadapi dakwaan serius atas tuduhan pemberontakan, yang dapat dihukum dengan penjara seumur hidup atau hukuman mati. Yoon, yang juga mantan jaksa agung, telah mendekam di sel isolasi sejak ditangkap pada 15 Januari 2025, menyusul konflik bersenjata antara tim keamanannya dan pejabat yang menangkapnya.
Pengadilan sempat menolak dua kali permintaan jaksa untuk memperpanjang penahanannya. Tetapi dengan dakwaan baru ini, jaksa kembali mengajukan permintaan agar Yoon tetap ditahan selama proses hukum berlangsung. Pemberontakan adalah salah satu dari sedikit tuduhan pidana yang tidak dapat dilindungi oleh kekebalan hukum presiden di Korea Selatan.
Menurut juru bicara Partai Demokrat, Han Min-soo, dakwaan ini adalah awal dari hukuman yang dihadapi Yoon sebagai pemimpin pemberontakan. Meski Korea Selatan tidak melaksanakan hukuman mati selama beberapa dekade, ancaman tersebut tetap membayangi.
Yoon dan pengacaranya mengklaim di sidang Mahkamah Konstitusi bahwa deklarasi darurat militer pada Desember lalu hanya dimaksudkan sebagai peringatan untuk memecah kebuntuan politik, bukan untuk diberlakukan sepenuhnya. Namun, langkah itu memicu konfrontasi dramatis, di mana tentara bersenjata lengkap memasuki gedung parlemen melalui jendela yang pecah.
Deklarasi darurat militer dicabut Yoon dalam waktu enam jam setelah penolakan dari anggota parlemen. Mahkamah Konstitusi kini memiliki waktu 180 hari untuk memutuskan apakah akan mencopot Yoon dari jabatannya atau mengembalikan kekuasaannya. Jika Yoon dicopot, pemilihan presiden baru akan diadakan dalam waktu 60 hari.
Kasus ini menjadi ujian besar bagi sistem hukum dan demokrasi Korea Selatan, dengan perhatian luas dari publik dan komunitas internasional.
“Baca Juga : Trump Lanjutkan Pengiriman Bom 2.000 Pon ke Israel”