News terbaru – Polusi udara yang semakin memburuk tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga secara signifikan mempengaruhi kesehatan mental individu. Menurut studi terbaru yang dipublikasikan di PubMed Central.[1] Tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara tinggi dapat mengurangi tingkat kebahagiaan seseorang dan meningkatkan risiko gejala depresi. Partikel-partikel PM2.5, yang merupakan partikel terkecil dalam polusi udara dan tidak dapat disaring oleh tubuh. Dikaitkan secara khusus dengan peningkatan risiko depresi, menurut Jurnal Environmental Pollution.
Psikolog Patricia Elfira Vinny menjelaskan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, psikosis, dan bahkan demensia. Ini merupakan peringatan serius mengingat dampak negatifnya terhadap populasi yang terus terpapar. Terutama anak-anak dan remaja yang sedang mengalami tahap kritis perkembangan mental.
“Baca juga: Pertamina Hulu Energi Memimpin Proyek Strategis di Wilayah Timur Indonesia dengan Keberhasilan Survei Seismik 3D“ [2]
“Masyarakat di kota metropolitan, seperti Jabodetabek, memiliki risiko yang lebih tinggi karena kondisi psikososial yang kompleks di lingkungan tersebut,” ungkap Patricia. Kemacetan, masalah finansial, dan tekanan pekerjaan semakin memperburuk rentan terhadap gangguan kesehatan mental di kawasan dengan tingkat polusi udara tinggi.
Menurut data dari Kementerian Kesehatan RI, satu dari sepuluh orang di Indonesia telah mengalami gangguan kesehatan mental.[3] Gejala-gejala seperti penurunan kemampuan berkonsentrasi, rasa gelisah. Kesulitan membuat keputusan, dan gangguan tidur sering kali muncul pada individu yang terpapar polusi udara secara terus-menerus.
Secara lebih mendalam, penelitian dari National Bureau of Economic Research Cambridge. Menunjukkan bahwa peningkatan polusi udara berkontribusi pada peningkatan jumlah kasus bunuh diri. Setiap kenaikan 1 g/m3 PM2.5 harian terkait dengan peningkatan 0,49 persen dalam jumlah kasus bunuh diri harian.
Patricia menekankan pentingnya konsultasi dengan profesional kesehatan mental seperti psikolog atau psikiater bagi mereka yang mengalami gejala awal gangguan kesehatan mental. “Penting untuk tidak melakukan diagnosis sendiri dan segera mencari bantuan profesional untuk mendapatkan penanganan yang tepat,” pesannya.
“Simak juga: Investasi Besar UE Pembiayaan 1 Miliar Euro untuk Mesir“ [4]
Sementara itu, pada tanggal 1 Juli 2024, Jakarta tercatat sebagai salah satu kota. Dengan tingkat polusi udara tertinggi di dunia dengan konsentrasi PM2.5 mencapai 82 μg/m3 (kategori tidak sehat), menurut IQAir. Studi kolaboratif antara Nafas dan Halodoc juga menunjukkan bahwa terdapat risiko peningkatan 34 persen dalam kasus penyakit pernapasan dengan setiap kenaikan 10 μg/m3 polusi PM2.5.[5]
Pemerintah dan masyarakat perlu segera mengambil tindakan yang efektif untuk mengurangi dan melindungi kesehatan mental serta fisik generasi masa depan dari dampak yang tidak diinginkan ini.
[1] https://m.tribunnews.com/kesehatan/2024/07/01/terpapar-polusi-udara-terus-menerus-membuat-anak-anak-hingga-dewasa-rentan-depresi
[2] https://bahasinfo.net/informasi/pertamina-hulu-energi-memimpin-proyek-strategis-di-wilayah-timur-indonesia-dengan-keberhasilan-survei-seismik-3d/
[3] https://www.ajnn.net/news/psikolog-terpapar-polusi-udara-terus-menerus-bisa-sebabkan-depresi/index.html
[4] https://awalanberita.net/ekonomi/investasi-besar-ue-pembiayaan-1-miliar-euro-untuk-mesir/
[5] https://amp.suara.com/news/2024/07/01/135103/ngerinya-polutan-di-jakarta-selain-picu-orang-bunuh-diri-karena-depresi-ini-bahayanya-jika-anak-anak-hirup-polusi