China Beri Insentif Baru Hadapi Penurunan Angka Kelahiran
News terbaru – China kini menghadapi krisis populasi yang semakin dalam, ditandai oleh populasi yang menua dan angka kelahiran yang terus menurun. Tren ini mendorong Partai Komunis China (PKC) meluncurkan kebijakan pro-kelahiran secara agresif.
Perdana Menteri Li Qiang, dalam forum nasional ‘Dua Sesi,’ mengumumkan rencana strategis untuk membalikkan penurunan populasi. Pemerintah menawarkan dukungan finansial dan struktural bagi keluarga. Komisi Kesehatan Nasional juga meluncurkan Prakarsa Pembangunan Berkualitas Tinggi Populasi 2025.
Upaya ini mendorong komisi lokal merancang kebijakan kesuburan yang menyeluruh. Program berlangsung dari Maret hingga Oktober untuk mencari solusi jangka panjang terhadap penurunan kelahiran.
Pemerintah daerah di seluruh China mulai memperkenalkan insentif yang mencakup subsidi, cuti orang tua, hingga platform kencan daring. Di Hohhot, Mongolia Dalam, keluarga dengan anak ketiga mendapat subsidi 100.000 yuan. Ningxia memperpanjang cuti menikah menjadi 13 hari dan cuti hamil menjadi 60 hari.
Meski demikian, banyak warga muda tetap menolak membentuk keluarga. Ketidakpastian ekonomi, tingginya biaya hidup, dan pasar kerja yang lemah menjadi alasan utama. Seorang warga Pudong, Shanghai, menyatakan bahwa kedua anaknya tidak tertarik memiliki anak karena beban finansial.
Di Beijing, pernikahan dianggap sebagai kemewahan. Gaji 10.000 yuan per bulan belum cukup untuk membeli rumah, apalagi membesarkan anak. Banyak warga menganggap subsidi pengasuhan anak tidak cukup mengurangi tekanan ekonomi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan kebijakan belum tentu mengubah sikap masyarakat. China kini berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan stabilitas demografi jangka panjangnya.
“Baca Juga : Ratusan Prajurit AU Israel Teken Petisi Tolak Perang Gaza”
Banyak warga China merasa terjebak dalam siklus ekonomi sulit dan mulai mempertanyakan tanggung jawab memiliki anak di kondisi saat ini. Seorang sejarawan China yang menetap di Australia menyebut dorongan kebijakan kelahiran PKC sebagai tanda keputusasaan pemerintah. Ia memperingatkan bahwa penurunan angka kelahiran mungkin sudah tidak bisa dibalikkan.
Dampaknya mulai terasa. Pemerintah daerah kesulitan secara finansial, sementara minat menikah dan memiliki anak terus menyusut. Kementerian Urusan Sipil China mencatat pernikahan turun 20,5% pada 2024, menjadi hanya 6,1 juta. Angka ini adalah yang terendah dalam 45 tahun. Sebaliknya, perceraian meningkat 1,1% menjadi 2,62 juta kasus.
Statistik resmi juga menunjukkan angka kelahiran hanya 6,77 per seribu penduduk, dengan pertumbuhan alami minus 0,99—tiga tahun berturut-turut mencatat pertumbuhan negatif.
Seorang profesor dari Universitas Teknologi Sydney menyoroti kebijakan satu anak selama 30 tahun sebagai penyebab utama. Kebijakan itu, termasuk aborsi paksa, menghapus satu hingga dua generasi. Kini, generasi muda menghadapi biaya tinggi untuk pendidikan, rumah, dan layanan kesehatan. Karantina ketat selama pandemi memperburuk situasi.
Profesor tersebut menyebut insentif pemerintah sebagai solusi dangkal yang gagal mengatasi krisis sosial. Banyak anak muda bahkan enggan punya anak meskipun mampu secara finansial.
Laporan daring juga menunjukkan meningkatnya kekhawatiran warga lansia yang meninggal sendirian. Beberapa percaya aset mereka bisa disita negara. Seorang pengacara memperingatkan bahwa memilih hidup sendiri dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang tidak diinginkan.
Frustrasi publik meningkat. Banyak warga menyatakan tidak ingin berkontribusi pada generasi mendatang karena kecewa terhadap sistem yang mengekang mereka.
“Baca Juga : Eks Agen CIA Klaim Temukan Lokasi Rahasia Tabut Perjanjian”